sideCategory1

Apr 30, 2012

Cindaku, Sang Penjaga Sistem Penyangga Kehidupan


UHANGKAYO - Menulis tentang Cindaku, mengingatkan saya pada kejadian beberapa tahun lalu saat praktek lapang di salah satu HTI di Jambi. Selama kurang lebih 2 bulan, dan setiap harinya kami di haruskan berada di hutan yang jauh dari ‘peradaban’. Sore itu, dalam perjalanan pulang, kami menaiki mobil berbak terbuka. Saya selalu menikmati pemandangan dalam perjalanan terutama pada daerah baru, sehingga tidak begitu berbaur dengan obrolan teman-teman dan karyawan. Untuk sesaat saya mencoba melihat kesebelah kanan, diantara keremangan sore, dengan jelas saya dapat melihat seekor harimau berdiri di pinggir jalan dan melihat kearah kami. Mungkin berjarak tidak lebih 10 meter dari mobil yang kami tumpangi, namun karena mobil terus melaju sehingga jarak yang terbentuk pun semakin jauh. Mobil berbak terbuka yang kami naiki ini terasa ‘rapuh’ apabila harimau itu hendak mengejar kami, dan ini cukup membuat saya merinding.

Sesampai di basecamp, cerita yang saya dengar dari beberapa pegawai yang telah lama di hutan ini menyampaikan bahwa hanya beberapa orang yang 'diperlihatkan' sosok harimau di wilayah ini. Yang lebih menambah rasa 'penasaran' adalah adanya nilai-nilai 'magis' yang disematkan pada harimau serta orang yang 'diperlihatkan' itu.

Saya mencoba melihat ke daerah asal saya, tempat saya dilahirkan – Kerinci. Saat masih anak-anak, kisah tentang manusia harimau menjadi 'dongeng sebelum tidur'. Diceritakan bahwa nenek moyang Kerinci memiliki ikatan yang kuat dengan Harimau, bahkan sebagian para leluhur adalah manusia yang mampu berubah wujud menjadi harimau. Masyarakat di daerah saya juga menganggap tabu untuk mengucapkan kata "Harimau", sehinga diganti dengan sebutan "Ninek" atau Nenek dalam Bahasa Indonesia. Ini merupakan aturan yang tidak tertulis atau etika kesopanan yang ditujukan kepada Harimau, sebuah penghormatan, sebuah pengakuan secara tidak langsung adanya hubungan yang erat antara leluhur dengan Harimau.

Bagaimanapun, tulisan ini bukanlah untuk menjustifikasi kebenaran atau kebohongan cerita yang berkembang di masyarakat Kerinci tentang Manusia Harimau. Selain karena diluar sana ada banyak cerita yang memiliki alur yang berbeda, tulisan ini juga tidak dilakukan melalui alur penelitian secara ilmiah. Namun tulisan ini lebih kepada pemikiran ‘nyeleneh’, penalaran secara bebas dari himpunan perjalanan hidup saya, dan mencoba melihat melihat nilai-nilai positif yang terkandung dari kisah Cindaku yang masih hidup hingga saat ini, sebagai sebuah perwujudan dari local wisdom atau kearifan lokal. Sumber tulisan ini berasal dari sisa-sisa ingatan dongeng masa kecil, serta tulisan di beberapa bloger Kerinci untuk memperkuat ingatan dongeng masa kecil.

Apa itu Kearifan Lokal?

Dikutip dari tulisan Nurma Ali Ridwan, secara substansial, kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.[1] Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam Bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya. Oleh karena itu, sangat beralasan jika Greertz mengatakan bahwa kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Hal itu berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan masyarakatnya adalah yang menentukan dalam pembangunan peradaban masyarakatnya.

Karena terbentuk dari sebuah evolusi yang berlangsung cukup lama dari ke generasi ke generasi, kearifan lokal dapat terwujud sebagai tradisi bahkan bisa mencapai tahap kepercayaan (agama) bagi suatu masyarakat. Namun, nilai-nilai yang terkandung adalah sebagai sebuah proteksi, perlindungan bagi kaum tersebut dari ancaman kepunahan yang berasal dari luar maupun dari dalam. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris atau yang estetik maupun intuitif.

Besarnya arus modernisasi seringkali menjadi penyebab lunturnya nilai-nilai yang dibawa oleh kearifan lokal ini. Dalam kehidupan sehari-hari contoh sederhana lunturnya nilai kearifan lokal adalah pada bangunan. Arsitektur lokal, seringkali dipuji oleh arsitek masa kini karena ramah lingkungan dan energi. Pada tahap hunian, arsitektur lokal menerapkan ventilasi dan penerangan alami yang memakai energi tambahan. Namun dewasa ini, pembangunan untuk hunian bahkan di desa-desa telah mengikuti trend kekinian, yang berdampak pada pemanfaatan energi secara besar untuk penerangan maupun penghawaan.[2]

Hutan Sumber Kehidupan

Sebagaimana diketahui Kerinci (dulunya) masih merupakan kawasan hutan belantara, hingga kedatangan sebuah koloni yang disebut sebagai "Kecik Wok Gedang Wok" yang diduga telah mendiami alam Kerinci sejak 10.000 tahun silam. "Kecik Wok Gedang Wok" inilah yang nantinya menjadi cikal bakal nenek moyang masyarkat Kerinci.[3] Pada awal bermukim dan sebelum terjadinya perkampungan, desa kemudian kota, hutan telah menjadi awal dari lingkungan kehidupan masyarakat. Hutan menjadi tempat hidup, dan menyediakan segala bentuk kebutuhan bagi kehidupan sehari-hari mereka. Hutan menjadi sumber makanan yang berasal dari hewan maupun tumbuhan, sumber air bersih, bahkan sumber bahan baku untuk shelter sehinga mereka bisa berteduh dari hujan dan terik matahari, serta menghindari serangan binatang buas.

Sebuah evolusi membawa pada sebuah kesadaran akan pentingnya sesuatu, apalagi yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak. Hutan merupakan salah satu aset, yang menguasai kehidupan mereka. Dan sebuah aset ini tentunya memerlukan suatu bentuk perlindungan agar kelestariannya tetap terjaga, sehingga dapat memenuhi keberlanjutan kehidupan pada wilayah tersebut.

Pengukuhan menjadi "Hutan Adat" maupun "Hutan Larangan" sepertinya merupakan suatu bentuk pengakuan hukum (adat) pada suatu kawasan hutan, untuk dapat menjaga sumber kehidupan dan mewariskannya kepada generasi berikutnya. Tidak sedikit, dikisahkan hutan larangan memiliki penjaga berupa makhluk gaib, sehingga apabila dilanggar akab berdampak buruk bagi pelanggar bahkan bagi desa. Kisah-kisah ini, lebih untuk memperkuat efek kepatuhan bagi masyarakatnya agar hutan tersebut tetap terjaga.

Apabila dilihat di beberapa daerah lainnya di Nusantara, ternyata kawasan hutan adat maupun larangan memiliki harta yang ternilai berupa sumber mata air bersih yang menghidupi desa tersebut. Seperti pada hutan adat Kalempang di Sulawesi Selatan, hutan adat Danowudu di Manado yang memiliki dua sumber mata air yang telah menghidupi masyarakat Danowudu dan Kota Bitung dari dahulu kala.[4] Hal serupa juga ditemukan di Ranah Minang, Hutan Larangan menjadi sumber bagi air bersih, bahkan tegakan hutan tersebut telah diyakini dari jaman dahulu sebagai penahan longsor.[5]

Kesadaran akan penting dan besarnya manfaat yang diberikan oleh hutan juga dipercaya oleh Lukman seorang Kuncen (Juru Kunci) hutan larangan di Kampung Dukuh, Garut. Ia yang hanya mengenyam pendidikan hingga SD mengakui bahwa "Hutan menjadi jantung kehidupan warga. Berawal dari hutan yang utuh, air keluar dari tanah menjadi sumber kehidupan masyarakat. Siapa yang tak butuh air untuk hidup?”.[6]

Legenda Cindaku Sang Penjaga Hutan

Kerinci kota SAKTI. Secara harfiah kata SAKTI merupakan singkatan untuk menunjukkan Kerinci sebagai kota yang Sejuk Aman Kenangan Tertib dan Indah. Namun, bagi beberapa kalangan pemilihan kata sakti bagi slogan Kerinci, bersumber pada sejarah tanah Kerinci yang merupakan tempat berkumpulnya para pendekar sakti. Jika di beberapa televisi nasional yang menayangkan film kungfu dengan pendekar yang memiliki ilmu meringankan tubuh, maka di Kerinci pun terdapat cerita yang serupa dimana ada pendekar yang dapat solat di daun pisang yang masih berada di pohonnya. Dikisahkan juga terdapat pendekar yang mampu menghilang dalam sekejap mata dan membawa cinderamata dari belahan bumi lain. Kisah lain yang tidak kalah menarik dan masih hidup hingga saat ini adalah tentang Manusia Harimau atau Cindaku.

Menurut kisah, Cindaku merupakan sosok manusia yang dapat berubah menjadi harimau. Ilmu ini konon di dapatkan dari sebuah pertapaan panjang. Cindaku akan berubah menjadi Harimau saat dada nya menyentuh tanah Kerinci. Sampai saat ini masih ada beberapa pihak yang meyakini bahwa keturunan Cindaku hidup normal dan berbaur diantara masyarakat, namun tidak semua keturunannya dapat mewarisi ilmu ini. hanya orang-orang yang terpilih lah yang dapat menjadi Cindaku. Diceritakan juga bahwa Cindaku telah menjelajah wilayah nusantara dan tidak ada satupun pendekar yang mampu menandingi Cindaku ini. Akhirnya Cindaku bertemu dengan seorang Wali dari tanah jawa dan bersyahadat di depan beliau, Cindaku akhirnya ditugaskan untuk menjaga hutan.

Pada kisah lain diceritakan juga bahwa terdapat sebuah perjanjian antara masyarakat Kerinci dengan Harimau (Cindaku) yang berisi tentang pembagian wilayah bagi masing-masing pihak, serta beberapa perjanjian yang mengatur hubungan interaksi antara manusia dengan harimau maupun bentuk interaksi pada wilayah masing-masing.

Jika dilihat kisah Cindaku yang beredar, walaupun memiliki alur atau versi yang berbeda-beda, namun memiliki tujuan yang sama, untuk melindungi kawasan hutan, sehingga generasi berikutnya juga dapat menikmati manfaat yang tak ternilai dari kawasan hutan. Hal ini dapat dilihat dari perjanjian yang terbentuk antara harimau dengan manusia berupa pembagian wilayah, antara wilayah hunian harimau dan wilayah manusia. Hutan rimba adalah wilayah hunian harimau, sedangkan kampung dan kota adalah wilayah manusia, masing-masing pihak tidak tidak boleh berkuasa atau menunjukkan kebuasannya di wilayah lain. Hal ini juga terlihat dari versi lain kisah Cindaku, yang mana Cindaku bertemu dengan seorang wali dari Jawa dan memutuskan masuk Islam. Oleh sang wali, Cindaku ditugaskan menjadi penjaga hutan.

Pada proses terbentuknya sebuah permukiman, dari desa hingga menjadi kota. Selalu diwali dari daerah yang tidak berpenghuni, akan tetapi mampu menopang kehidupan mereka, baik hutan, sungai, dan lain sebagainya. Dan seiring waktu, penghuni wilayah tersebut membentuk peraturan yang dapat menjaga kelestarian dari penopang kehidupan itu. Kearifan lokal yang didengungkan dewasa ini merupakan wujud dari trial and error yang telah berlangsung dari generasi ke generasi, untuk mencari suatu formula yang bersahabat dengan alam sehingga kelestrian sistem penjaga tersebut dapat terjaga. Tidak jarang kearifan lokal ini disisipi dengan cerita mistis, yang kemudian oleh generasi saat ini cerita-cerita tersebut dianggap sebagai sebuah mitos, atau bualan semata. Namun inilah teknologi yang berkembang di masa itu, teknologi yang bertujuan untuk mempertahankan sistem penyangga kehidupan bagi masyarakat sekitar.

Pranala Luar:
  1. Ridwan NA. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Ibda’ 5 (1): 27-38. Download pdf disini.
  2. Satwiko P. 2005. Arsitektur Sadar Energi: Pemanfaatan Komputer dan Internet untuk Merancang Bangunan Ramah Lingkungan. Yogyakarta: Andi.
  3. Suku Bangsa Asli Kerinci. uhangkayo.webs.com
  4. Pemangku Adat Danowudu Hijaukan Hutan Adat. Lihat disini.
  5. Kearifan Lokal di Ranah Minang. Lihat disini.
  6. Lukman, Hutan dan Penjaga Kehidupan. Lihat disini.
Sumber Gambar:
Manusia Harimau disini
Mata Air di Lantai Hutan Adat Kalempang disini

0 comments:

Post a Comment